Friksi di KPK Tidak Wajar
Friksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak wajar lagi. Friksi itu bahkan sangat tidak sehat karena berpotensi menampilkan ketua bayangan atau komisioner ke-6. Untuk tujuan penguatan peran dan fungsi, sekaligus mencegah meluasnya ekses penyalahgunaan wewenang, KPK harus terbuka terhadap koreksi. Demikian disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo dalam rilisnya, Senin (04/09/2017).
Bambang mengatakan, sejumlah fraksi di DPR telah mengambil risiko untuk siap tidak populer dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk masalah KPK. Begitu juga dengan Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK, Brigadir Jenderal Pol Aris Budiman, yang mengambil risiko yang sama. Aris dicemooh oleh sejumlah kalangan yang telah kehilangan daya kritisnya, karena mereka menolak mencerna atau memaknai esensi penuturannya tentang friksi di tubuh KPK.
“Informasi yang dikemukakan Aris malah disalahartikan sebagai upaya pembusukan dari dalam. Aneh bin ajaib, karena para pencemooh Aris berasumsi bahwa orang-orang di dalam KPK itu innocent. Karena bukan pendosa, mereka tidak boleh dituduh macam-macam, jangan pula dikritik. Tapi, semua itu tak lebih dari upaya membentuk opini publik untuk coba mempertahankan status quo KPK saat ini. Entah keuntungan seperti apa yang mereka dapatkan dengan memperlihatkan perilaku anti perubahan seperti itu,” ujar Bambang.
Dengan bertutur tentang adanya friksi di tubuh KPK, secara tidak langsung Aris mengonfirmasi cerita lama tentang perilaku subordinasi (ketidakpatuhan kepada atasan) beberapa oknum di KPK, lanjutnya. Cerita lama itu berkisah tentang arogansi sekelompok oknum tertentu di KPK. Mereka arogan karena merasa sangat yakin bahwa kinerja KPK ditentukan oleh sepak terjang mereka. Demikian besarnya cengkeraman kelompok ini di dalam KPK sehingga Aris menyebutnya full power. Pimpinan dan komisionerpun kerap dibuat tidak berdaya.
"Siapapun komisioner yang terpilih di DPR, selama kelompok ini ada, tidak akan bisa apa-apa," kata Aris dihadapan anggota Pansus Hak Angket KPK, pekan lalu,” terangnya.
Bambang menyatakan, Aris sudah merasakan sendiri perilaku subordinasi bawahannya ketika dia berusaha meningkatkan kualifikasi penyidik asal Polri dari AKP (ajun komisaris polisi) ke level Kompol (komisaris polisi). Kepada Pansus DPR, dia mengaku seorang penyidik yang sangat berpengaruh bahkan menentang kebijakannya sebagai atasan. Artinya, cerita tentang perilaku subordinasi beberapa oknum di KPK itu bukan isapan jempol, tetapi fakta.
“Lalu, kenapa Aris harus dipersalahkan?. Mana yang mestinya lebih diutamakan, mengungkap borok agar bisa segera diobati Atau menutupi borok itu demi status quo?,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Aris akhirnya dihadapkan ke sidang Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK atas tindakannya hadir di RDP (rapat dengar pendapat) Pansus Hak Angket. Kalau pimpinan KPK konsisten menegakan aturan, mereka yang diketahui sering menentang atasan seharusnya juga dihadapkan sidang DPP KPK. (dep,mp)/foto:iwan armanias/iw.